Minggu, 10 November 2013

Peduli dengan sesama tunanetra (Inspirasi)

Ester Lince Napitupulu
Menjadi penyandang tunanetra pada usia 24 tahun akibat glaukoma sempat membuat Ritson Manyonyo putus harapan. Berhasil bangkit dari ”kegelapan”, Sonny, sapaan dia, mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan anak-anak penyandang tunanetra.

Sonny (38) tak ingin penyandang tunanetra terjebak pilihan hidup yang terbatas sebagai tukang pijat dan pengamen. Ia bersama teman-teman, para penyandang tunanetra, sejak 2006 mendirikan Yayasan Elsafan yang menyediakan layanan pendidikan dan panti bagi anak-anak tunanetra, terutama anak dari keluarga tidak mampu.
”Keinginan kami sempat dipandang sinis. Ada yang bilang orang buta, kok, mengurus orang buta, mengurus diri sendiri saja sulit. Namun, nyatanya lembaga pendidikan bagi anak-anak tunanetra ini terus berkembang,” ujarnya.
Sekolah dan panti Yayasan Elsafan masih berpindah-pindah kontrakan. Mereka belum mampu membeli lahan. Kini, Yayasan Elsafan beroperasi di rumah kontrakan dua lantai di dekat Perumnas Klender, Jakarta Timur.
Anak-anak tunanetra yang terlambat menikmati bangku sekolah atau ”disembunyikan” keluarga diajak bergabung. Selain dari Jakarta dan sekitarnya, mereka, antara lain, juga dari Pontianak dan Medan.
Dari 41 siswa, sebanyak 60-70 persen tak membayar karena berasal dari keluarga tidak mampu.

Layanan individu
Pendidikan yang ia kembangkan memberi layanan individual, mendorong setiap anak berkembang sesuai potensinya. Anak-anak tunanetra itu umumnya berbakat di bidang vokal, alat musik, teknologi komputer, dan olahraga.
”Kami sediakan ekstrakurikuler (ekskul) sesuai minat dan bakatnya. Mereka dibimbing mengembangkan bakatnya agar kelak mandiri dengan apa yang dia bisa,” ujar Sonny yang hobi bermain drum.
Demi pelayanan individu yang maksimal, ia merekrut 37 karyawan untuk melayani 41 siswa. Pada Senin-Jumat, seusai belajar, siswa mengikuti ekskul yang diminati, seperti musik, paduan suara, angklung, tata boga, dan bahasa Mandarin.
Pengoptimalan bakat setiap anak itu membuahkan hasil. Dalam bidang musik dan seni suara, anak-anak Yayasan Elsafan sering meraih juara dalam lomba musik/ vokal tingkat DKI Jakarta. Di bidang olahraga, ada siswa yang meraih medali emas. Kelompok musik Elsafan Children Voice sering tampil di berbagai acara. Mereka juga telah membuat album.
Sonny bercerita, banyak anak tunanetra yang mengalami luka batin karena sering diabaikan keluarga atau tak mendapat pendidikan sewajarnya. Di Yayasan Elsafan, mereka mendapat pendampingan untuk memulihkan kembali harga diri dan rasa percaya dirinya.

Melawan kegelapan
Kebutaan yang datang saat Sonny menjadi mahasiswa sempat membuat dia mengkhawatirkan masa depan. Ia meninggalkan kuliah pada semester VI. Ia butuh orang lain untuk beraktivitas. Hal ini membuat dia merasa menjadi beban orang lain.
Namun, kepindahannya ke Salatiga mengubah hati dan pikirannya. Ia mengenal dosen penyandang tunanetra di Universitas Satya Wacana. Ia juga mengikuti perkemahan penyandang tunanetra di Ambarawa. Di sini ia menemukan penyandang tunanetra yang bergelar akademis.
”Fakta itu mengubah saya, yang awalnya pesimistis,” ujar Sonny. Ia lalu belajar huruf braille dan hidup mandiri di Yogyakarta. Ia bertekad kembali kuliah dengan memakai alat perekam. Ia meraih nilai skripsi terbaik di kampusnya.
”Saya senang bisa merdeka dari kegelapan. Saya bisa membaca huruf braille dan pergi sendiri, lepas dari hambatan.”
Namun, menjalani kehidupan sebagai penyandang tunanetra tak mudah. Sonny sempat ditolak kuliah S-2. Sejumlah temannya penyandang tunanetra mendapatkan pekerjaan yang tak sesuai dengan pendidikan mereka karena terbatasnya perusahaan yang mau menerima.
Timbul keinginan Sonny membantu anak-anak tunanetra. Kalau tak sedini mungkin dilatih, penyandang tunanetra akan menjadi beban bagi orang lain.
Sonny aktif dalam berbagai organisasi untuk membangun jaringan. Ia tak ingin dikasihani demi mendapatkan dana. Ia menunjukkan potensi anak-anak tunanetra lewat kemandirian dan prestasi. Uluran tangan dari berbagai pihak mengalir setelah melihat kiprahnya.
Ia berharap suatu saat Yayasan Elsafan punya lahan, panti, dan balai kerja agar bisa menampung lebih banyak anak tunanetra yang butuh pendidikan dan dukungan untuk dikembangkan potensinya.

Nah teman-teman cerita di atas sangat menginspirasi kita bagaimana perjuangan sonny untuk menjalani hidup dan mau peduli dengan sesama penyandang tuna netra , penyandang tuna netra juga membutuhkan sama hal nya dengan anak normal lainnya kasihsayang ,pendidikan ,dan di akui oleh masyarakat .Oleh karena itu kita harus peduli terhadap mereka ,mereka harus kita beri kesenpatan utuk juga berkarya bersama kita :)

Reference: http://internasional.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar