Sabtu, 23 November 2013

Perkembangan Kepribadian Anak Tunanetra

Bagaimana perkembangan kepribadian anak tunanetra, masih sering diperdebatkan. Namun sebagian besar peneliti sepakat bahwa akibat dari ketunanetraan mempunyai pengaruh yang cukup berarti bagi perkembangan kepribadian anak.
Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan sifat kepribadian antara anak yang tunanetra dengan anak awas. Ada kecenderungan anak tunanetra relatif lebih banyak yang mengalami gangguan kepribadian yang dicirikan dengan introfersi,neuritik,frustasi dan rigiditas(kekakuan) mental. Namun demikian disisi lain terdapat pula hasil-hasil penelitian yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam hal penyesuaian diri antara anak yang tunanetra dengan anak awas.Dalam hal tes kepribadian ditemukan pula bahwa tes-tes kepribadian yang sudah standartpun tidak secara khusus di peruntukkan bagi tunanetra. Situasi kehidupan yang berbeda antara anak tunanera dengan anak awas sering kali menimbulkan tafsiran yang berbeda pula terhadap sesuatu hal yang diajukan.

Dalam hal peran konsep diri dalam penyesuaian terhadap lingkungannya, (Dafis kirtley ,1975) menyatakan bahwa dalam proses perkembangan awal, deferensiasi konsep diri merupakan sesuatu yang sulit untuk di capai. Untuk memasuki lingkungan baru seorang anak tunantra harus dibantu oleh ibu atau orang tuanya melalui proses komunikasi verbal , memberikan semangat, dan memberikan gambaran lingkungan tersebut sejelas-jalasnya, seperti anak tunanetra mengenal tubuhnya sendiri.

Hasil penelitian lain juga menunjukan bahwa anak-anak tunanetra yang tergolong setengah melihat, memiliki kesulitan yang lebih besar dalam menemukan konsep diri di ebnding anak yang buta total. Kesulitan tersebut dikarenakan mereka sering mengalami konflik identitas, dimana suatu saat ia oleh laingkungannya disebut anak awas tetapi pada saat yang lain disebut sebagai anak buta atau tunantra. Bahkan seringkali ditemukakn anak-anak tunanetra golongan ini mengalami krisis identitas yang berkepanjangan. Konsep diri adalah salah satu determinan dari perilaku pribadi, dengan demikian ketidak pastian konsep diri anak tunanetra akan memunculkan masalah-masalah penyesuaian seperti dalam masalah seksual, hubungan  pribadi, mobilitas, dan kebebasan. Ada kecenderungan pula bahwa anak-anak tunanetra setelah lahir akan sulit menyeseuaikan dibandingkan dengan tunnetra sejak lahir.

Penelitian lain yang dilakukan oleh blank (1957) tentang pengaruh faktor ketidaksadaran terhadap perilaku anak buta, pada akhirnya berkesimpulan bahwa dalam pandangan psikoanalis keberadaan mata memiliki signifikansi dengan organ seksual dan kebutaan dengan pengkebirian (crastation). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa masalah-masalah emosional dan tingkah laku yang dihadapi anak tunanetra dikarenakan sebab-sebab yang sama dengan yang terjadi pada anak normal seperti gangguan relasi antara orangtua dengan anak pada masa kanak-kanak, gangguan organis dalam sistem syaraf pusat, faktor konstitusi tubuh, serta faktor-faktor ekonomis, pendidikan, medis, dan tenaga profesional lain yang diperlukan anak tunanetra dan keluarganya.

Bagi anak tunanetra reaksi terhadap kebutaan juga diperlukan dalam pembentukan pola-pola tingkah laku selanjutnya. Bilamana kebutuhan tersebut terjadi pada saat ego mulai berkembang maka pengalaman traumatik tidak akan dapat dihindarinya, yaitu shock dan kemudian depresi, karena pada saat itu anak mulai muncul kesadaran akan dirinya secara luas.

Berdasarkan pengamatan sehari-hari diketahua bahwa anak tunanetra juga sering menunjukkan karakteristik perilaku tersendiri yang berbeda dengan orang normal. Perilaku khusus tersebut muncul sebagai kompensasi dari ketunanetraannya. Menurut Adler seseorang berkembang karena perasaan rendah diri (Inferior) dan perasaan inilah yang mendorong seseorang bertingkah laku mencapai rasa superior , sehingga perkembangan itu terjadi. Konpensasi adalah salah satu cara untuk mencapai rasa superior tersebut. Prilaku-prilaku kas dan sifatnya konpensatoris pada anak tunanetra yang sering dijumpai terutama pada usia dewasa diantaranya ialah pertahanan dirinya yang kuat. Anak tunanetra cenderung bertahan dengan ide atau pendapatnya yang belum tentu benar menurut penilaian umum.

Disamping itu Sukini Pradopo (1976) mengemukakan gambaran sifat anak tunanetra diantaranya ialah ragu-ragu, rendah diri, dan curiga pada orang lain. sedangkan  Sommper menyatakan bahwa anak tunanetra cenderung memiliki sifat-sifat takut yang berlabihan, menghindari kontak sosial , mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain, serta tidak mengakui kecacatannya.

Reference  -Tjutju Sutjihati Somantri.1995.Prikologi Anak Luar Biasa,Jakarta:Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1 komentar: